Sabtu, 02 Desember 2017

DESENTRALISASI PENDIDIKAN 



Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional yang semuanya mengarah pada rigiditas. Dengan demikian proses pendidikan cenderung diperlakukan sebuah pabrik. Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan, khususnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki "kepribadian" tidak banyak mendapatkan perhatian kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat dengan wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler dalam bentuk kliping koran.  Lebih lanjut, sentralisasi dan berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin luas dan kaku akan menjadikan keseragaman sebagai suatu tujuan. Hasilnya, berkembanglah manusia-manusia dengan mentalitas "juklak" dan "juknis" yang siap diberlakukan secara seragam. Akibat lebih jauh di masyarakat berkembang prinsip persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan komunikasi adalah komando; interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan tindakan yang tidak mengandung emosi.   Karena kemerosotan kualitas pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan organisasi sekolah menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan lingkungan sebagai akibat dari birokratisasi dunia, kualitas pendidikan yang bersifat sentralistis, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus didasarkan pada kebijaksanaan debirokratisasi dan desentralisasi.   Desentralisasi pendidikan merupakan suatu tindakan mendelegasikan wewenang

kepada satuan kerja yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Selanjutnya menurut Slamet (2005) desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan mutu layanan dan kinerja pendidikan, baik pemerataan, kualitas, relevansi, dan efesiensi pendidikan. Selain itu desentralisasi juga ditujukan untuk mengurangi beban pemerintah pusat yang berlebihan, mengurangi kemacetan-kemacetan jalur-jalur komunikasi meningkatkan kemandirian, demokrasi, daya tanggap, akuntabilitas, kreativitas, inovasi, prakarsa, dan meningkatkan pemberdayaan dalam pengelolaan dan kepemimpinan pendidikan. Permasalahannya yang lebih mendalam yang perlu diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentralisasi yang dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah kebijaksanaan desentralisasi hanya dilihat sebagai beloved untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi upaya untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan "   Tujuan yang perlu dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan. 



PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN YANG COCOK UNTUK INDONESIA  Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia. 

 Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan menggundul keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih. Semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.   Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan yang berorintesi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan berorientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan?   Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat multidisipliner. 







Sumber: Jurnal MEDTEK, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2011

Mappalotteng, Abdul Muis. 2011. Paradigma Pendidikan Berwawasan Global Dan Tantangannya. Jurnal MEDTEK, Volume 3, Nomor 2

DESENTRALISASI PENDIDIKAN 

Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional yang semuanya mengarah pada rigiditas. Dengan demikian proses pendidikan cenderung diperlakukan sebuah pabrik. Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan, khususnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki "kepribadian" tidak banyak mendapatkan perhatian kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat dengan wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler dalam bentuk kliping koran.  Lebih lanjut, sentralisasi dan berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin luas dan kaku akan menjadikan keseragaman sebagai suatu tujuan. Hasilnya, berkembanglah manusia-manusia dengan mentalitas "juklak" dan "juknis" yang siap diberlakukan secara seragam. Akibat lebih jauh di masyarakat berkembang prinsip persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan komunikasi adalah komando; interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan tindakan yang tidak mengandung emosi.   Karena kemerosotan kualitas pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan organisasi sekolah menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan lingkungan sebagai akibat dari birokratisasi dunia, kualitas pendidikan yang bersifat sentralistis, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus didasarkan pada kebijaksanaan debirokratisasi dan desentralisasi.   Desentralisasi pendidikan merupakan suatu tindakan mendelegasikan wewenang

kepada satuan kerja yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Selanjutnya menurut Slamet (2005) desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan mutu layanan dan kinerja pendidikan, baik pemerataan, kualitas, relevansi, dan efesiensi pendidikan. Selain itu desentralisasi juga ditujukan untuk mengurangi beban pemerintah pusat yang berlebihan, mengurangi kemacetan-kemacetan jalur-jalur komunikasi meningkatkan kemandirian, demokrasi, daya tanggap, akuntabilitas, kreativitas, inovasi, prakarsa, dan meningkatkan pemberdayaan dalam pengelolaan dan kepemimpinan pendidikan. Permasalahannya yang lebih mendalam yang perlu diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentralisasi yang dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah kebijaksanaan desentralisasi hanya dilihat sebagai beloved untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi upaya untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan "   Tujuan yang perlu dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan. 



PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN YANG COCOK UNTUK INDONESIA  Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia. 

 Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan menggundul keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih. Semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.   Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan yang berorintesi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan berorientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan?   Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat multidisipliner. 







Sumber: 

Mappalotteng, Abdul Muis. 2011. Paradigma Pendidikan Berwawasan Global Dan Tantangannya. Jurnal MEDTEK, Volume 3, Nomor 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar