kepada
satuan kerja yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Selanjutnya
menurut Slamet (2005) desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan mutu layanan
dan kinerja pendidikan, baik pemerataan, kualitas, relevansi, dan efesiensi
pendidikan. Selain itu desentralisasi juga ditujukan untuk mengurangi beban
pemerintah pusat yang berlebihan, mengurangi kemacetan-kemacetan jalur-jalur
komunikasi meningkatkan kemandirian, demokrasi, daya tanggap, akuntabilitas,
kreativitas, inovasi, prakarsa, dan meningkatkan pemberdayaan dalam pengelolaan
dan kepemimpinan pendidikan. Permasalahannya yang lebih mendalam yang perlu
diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentralisasi yang
dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya
untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah kebijaksanaan desentralisasi
hanya dilihat sebagai beloved untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi upaya
untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan " Tujuan yang perlu dicapai dengan
kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap
terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim
pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan.
PENDIDIKAN
DAN KEBUDAYAAN YANG COCOK UNTUK INDONESIA
Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan
jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik
dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan
generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek
pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang
kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu,
perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia.
Pendidikan merupakan proses yang berlangsung
dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang
bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai
budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai
contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang
dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak
desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai,
suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya
tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia
menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja
keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian.
Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan menggundul keindahan
yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih. Semangat Kinjiro
diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan
menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah
di Jepang. Dalam kaitan ini perlu
dipertanyakan adakah nilai-nilai dan yang berorintesi budaya kita yang bisa
dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan berorientasi budaya
yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan? Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di
atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat
multidisipliner.
Sumber: Jurnal MEDTEK, Volume 3,
Nomor 2, Oktober 2011
Mappalotteng,
Abdul Muis. 2011. Paradigma Pendidikan
Berwawasan Global Dan Tantangannya. Jurnal MEDTEK, Volume 3, Nomor 2
DESENTRALISASI
PENDIDIKAN
Perkembangan
pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan
menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan
perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah
sistem pendidikan yang bersifat sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan
semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional
yang semuanya mengarah pada rigiditas. Dengan demikian proses pendidikan
cenderung diperlakukan sebuah pabrik. Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam
pendidikan, khususnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki
"kepribadian" tidak banyak mendapatkan perhatian kurikulum, guru dan
aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di kelas
ditentukan dari pusat dengan wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan
menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler dalam bentuk kliping koran. Lebih lanjut, sentralisasi dan berkembangnya
birokrasi pendidikan yang semakin luas dan kaku akan menjadikan keseragaman
sebagai suatu tujuan. Hasilnya, berkembanglah manusia-manusia dengan mentalitas
"juklak" dan "juknis" yang siap diberlakukan secara
seragam. Akibat lebih jauh di masyarakat berkembang prinsip persetujuan sebagai
kunci sukses; promosi dan komunikasi adalah komando; interaksi dicampurkan
dengan pertemuan-pertemuan resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan tindakan
yang tidak mengandung emosi. Karena
kemerosotan kualitas pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan organisasi sekolah
menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan lingkungan sebagai akibat dari
birokratisasi dunia, kualitas pendidikan yang bersifat sentralistis, maka untuk
meningkatkan kualitas pendidikan harus didasarkan pada kebijaksanaan
debirokratisasi dan desentralisasi.
Desentralisasi pendidikan merupakan suatu tindakan mendelegasikan
wewenang
kepada
satuan kerja yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Selanjutnya
menurut Slamet (2005) desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan mutu layanan
dan kinerja pendidikan, baik pemerataan, kualitas, relevansi, dan efesiensi
pendidikan. Selain itu desentralisasi juga ditujukan untuk mengurangi beban
pemerintah pusat yang berlebihan, mengurangi kemacetan-kemacetan jalur-jalur
komunikasi meningkatkan kemandirian, demokrasi, daya tanggap, akuntabilitas,
kreativitas, inovasi, prakarsa, dan meningkatkan pemberdayaan dalam pengelolaan
dan kepemimpinan pendidikan. Permasalahannya yang lebih mendalam yang perlu
diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentralisasi yang
dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya
untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah kebijaksanaan desentralisasi
hanya dilihat sebagai beloved untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi upaya
untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan " Tujuan yang perlu dicapai dengan
kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap
terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim
pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan.
PENDIDIKAN
DAN KEBUDAYAAN YANG COCOK UNTUK INDONESIA
Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan
jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik
dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan
generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek
pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang
kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu,
perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia.
Pendidikan merupakan proses yang berlangsung
dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang
bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai
budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai
contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang
dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak
desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai,
suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya
tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia
menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja
keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian.
Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan menggundul keindahan
yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih. Semangat Kinjiro
diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan
menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah
di Jepang. Dalam kaitan ini perlu
dipertanyakan adakah nilai-nilai dan yang berorintesi budaya kita yang bisa
dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan berorientasi budaya
yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan? Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di
atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat
multidisipliner.
Sumber:
Mappalotteng,
Abdul Muis. 2011. Paradigma Pendidikan
Berwawasan Global Dan Tantangannya. Jurnal MEDTEK, Volume 3, Nomor 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar