Sabtu, 02 Desember 2017

Strategi Pembelajaran



Strategi pembelajaran adalah cara-cara yang digunakan pengajar untuk memilih kegiatan belajar yang akan digunakan selama proses pembelajaran (Uno,2011:3), agar memudahkan siswa menerima dan memahaminya sehingga pada akhir kegiatan pembelajaran, tujuan pembelajaran yang dimaksudkan dapat dikuasai siswa (Warsita,2008:268).

Strategi pembelajaran adalah seperangkat kebijaksanaan yang terpilih, yang telah dikaitkan dengan faktor yang menetukan warna atau strategi tersebut, yaitu :

a.       a.Pemilihan materi pelajaran (guru atau siswa),

b.      Penyaji materi pelajaran (perorangan atau kelompok, atau belajar mandiri),

c.       Cara menyajikan materi pelajaran (induktif atau deduktif, analitis atau sintesis, formal atau non formal),

d.      Sasaran penerima materi pelajaran (kelompok, perorangan, heterogen, atau homogen.  Strategi pembelajaran sangat penting karena dapat mempermudah proses pembelajaran untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Bagi guru, strategi pembelajaran menjadi pedoman dan acuan bertindak yang sistematis, sedangkan bagi siswa dapat mempermudah dan mempercepat memahami isi pelajaran (Wena, 2008:3).  Variable strategi pembelajaran diklasifikasikan menjadi tiga, yakni:  a).strategi pengorganisasian pembelajaran, b) strategi penyampaian pembelajaran, dan c), strategi pengelolaan pembelajaran (Wena;2010:5). Suparman (1997: 157) menyatakan bahwa strategi pembelajaran merupakan cara sistematik mengkomunikasikan isi pelajaran kepada peserta didik yang meliputi perpaduan dari komponen; urutan kegiatan pembelajaran, metode atau cara pengorganisasian pembelajaran ke peserta didik, media pembelajaran yakni peralatan dan bahan, serta waktu yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1) Terdapat perbedaan hasil belajar fisika siswa antara kelompok yang diajar dengan strategi pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan kelompok siswa yang diajar dengan strategi pembelajaran kooperatif tipe TPS. Yaitu rata-rata hasil belajar fisika siswa yang diajar dengan strategi pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok siswa yang diajar dengan strategi pembelajaran kooperatif tipe TPS. 2) Terdapat perbedaan hasil belajar fisika siswa yang mempunyai kecenderungan gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik. Rata-rata hasil belajar fisika siswa yang memiliki kecenderungan gaya belajar auditorial lebih tinggi dari pada rata-rata hasil belajar fisika siswa yang mempunyai kecenderungan gaya belajar kinestetik dan visual, 3) Terdapat interaksi antara strategi pembelajaran dan gaya belajar terhadap hasil belajar fisika.

 Penerapan strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan materi pelajaran akan mempengaruhi hasil belajar yang diperoleh siswa. Oleh karena itu dianjurkan bagi guruguru fisika agar mempertimbangkan karaktristik siswanya terutama dalam hal gaya belajar sebelum memilih strategi pembelajaran yang akan diterapkan dalam mengajarkan pokok bahasan tertentu, sebab kecenderungan gaya belajar yang dimiliki siswa juga turut memberi pengaruh yang berbeda terhadap hasil belajar fisika siswa. 

Hasil belajar fisika dalam penelitian ini hanya mengukur aspek kognitif, diharapkan agar peneliti selanjutnya lebih mengembangkan pada aspek psikomotoris dan afektif dalam mendeskripsikan hasil belajar fisika agar pembelajaran lebih bermakna, efisien, serta memiliki daya tarik.





Sumber:

Halim, Abdul. 2012. Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Gaya Belajar Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa SMPN 2 Secanggang. Jurnal TABULARASA PPS UNIMED. Vol.9 No.2, Desember 2012

IMPLEMENTASI PENDEKATAN KONFLIK KOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN FISIKA UNTUK MENUMBUHKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA SMP KELAS VIII




Pendekatan konflik kognitif diartikan sebagai seperangkat kegiatan pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif untuk  mengkomunikasikan dua atau lebih rangsangan berupa sesuatu yang berlawanan atau berbeda kepada peserta didik, agar terjadi proses internal yang intensif dalam rangka mencapai keseimbangan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi, dengan melakukan reorganisasi pengetahuan yang telah tersimpan dalam struktur kognitifnya dan adaptasi berupa proses asimilasi dan akomodasi (Sugiyanta, 2008). Lebih lanjut Suparno (2007) menjelaskan tentang asimilasi dan akomodasi, yaitu ada dua tahap yang dilakukan dalam proses belajar untuk perubahan konsep. Tahap pertama adalah asimilasi dan tahap kedua adalah akomodasi. Dengan asimilasi siswa menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk berhadapan dengan fenomena baru. Dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena baru yang mereka hadapi. Hal ini sejalan dengan teori belajar bermakna dari Ausubel, belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru kedalam struktur pengetahuan mereka. Ini terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang ada akan menga-kibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yamg telah dipunyai siswa. Menurut Lee dan Kwon dalam Maulana, (2009) proses konflik kognitif meliputi tiga tahapan yaitu :(a) pendahuluan (preliminary) yaitu dilakukan dengan penyajian konflik kog-nitif,(b) konflik (conflict) yaitu penciptaan konflik dengan bantuan kegiatan demonstrasi atau eksperimen  yang melibatkan proses asimilasi dan akomodasi,(c) penyelesaian (resolution) yaitu kegiatan diskusi dan menyimpulkan hasil diskusi. Ada beberapa kelebihan dari pendekatan konflik kognitif, diantaranya adalah dapat memberikan kemudahan bagi siswa dalam mempelajari konsepkonsep fisika, melatih siswa berpikir kritis dan kreatif, serta meningkatkan aktivitas belajar siswa. Berpikir adalah berbicara dengan diri kita sendiri dalam benak dan batin masing-masing dari hal mempertimbangkan, merenungkan, mengamati, menganalisa, dan membuktikan sesuatu serta menentukan hasilnya (Pramudya 2006). Sedangkan berpikir kritis sering disebut berpikir mandiri, berpikir mempertimbangkan, atau berpikir mengevaluasi (Reid 2006). Muhfahroyin (2009) mengungkapkan kemampuan berpikir kritis merupakan proses kognitif untuk memperoleh pengetahuan. Jadi yang dimaksud

Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 7 (2011): 89-96 90

A. Setyowati Implementasi Pendekatan Konflik Kognitif dalam , dkk. -

Gambar 1. Grafik nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol

dengan kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir peserta didik untuk membandingkan dua atau lebih informasi dengan tujuan memperoleh pengetahuan melalui pengujian terhadap gejala-gejala menyimpang dan kebenaran ilmiah. Kriteria kemampuan berpikir kritis yang akan diteliti dalam penelitian ini meliputi berhipotesis, berasumsi, mengklasifikasi, me-ngamati, mengukur, menganalisis, menarik kesimpulan, dan mengevaluasi. Euwe Van Den Berg (1991) menjelaskan bahwa konsep adalah abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antara manusia dan yang memungkinkan manusia untuk berpikir, konsepsi adalah pentafsiran atas suatu konsep dari ilmu yang kita pelajari, dan miskonsepsi adalah pola berpikir yamg konsisten pada suatu situasi atau masalah yang berbeda-beda tetapi pola berpikir itu salah. Atau dapat juga diartikan sebagai pola pikir seseorang yang berbeda atau bertentangan dengan konsep ilmuan yang sudah ada. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kesalahan konsep (miskonsepsi) pada seseorang dalam mempelajari suatu ilmu, terutama dalam pembelajaran ilmu fisika yang syarat akan konsep-konsep dasar fisika diantaranya adalah: (a) kurang tepatnya aplikasi konsepkonsep yang telah dipelajar,(b) ketidakberhasilan dalam menghubungkan suatu konsep dengan konsep yang lain pada situasi yang tepat,(c) ketidakberhasilan guru dalam menampilkan aspek-aspek esensial dari konsep yang bersangkutan,(d) sulitnya untuk

meninggalkan pemahaman siswa yang telah ada sebelumnya. Hasil belajar kognitif merupakan takaran dari tingkat kemampuan atau ketrampilan intelektual dari tingkat rendah sampai dengan tingkat tinggi (Sugandi, 2006). Ranah kognitif dibagi kedalam beberapa kategori yang tersusun secara hierarki sebagai berikut:(1) kemampuan kognitif tingkat pengetahuan (C1), (2) kemampuan kognitif tingkat pemahaman (C2), (3) kemampuan kognitif tingkat penerapan (C3), (4) kemampuan kognitif tingkat analisis (C4), (5). kemampuan kognitif tingkat sintesis (C5), dan (6) kemampuan kognitif tingkat evaluasi (C6).

Berdasarkan hasil analisis data setelah penelitian, kelas eksperimen yang mendapatkan pembelajaran konflik kognitif memperoleh nilai rata-rata hasil belajar kognitif, kemampuan berpikir kritis dan pemahaman konsep siswa tentang tekanan yang lebih tinggi dibandingkan pada kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional. Ini dikarenakan pada pembelajaran dengan pendekatan konflik kognitif pada diri siswa terjadi proses internal yang intensif sehingga keseimbangan ilmu yang lebih tinggi tercapai. Selain itu dengan penggunaan konflik kognitif siswa mengalami proses asimilasi dan akomodasi sehingga siswa dapat mengarahkan kemampuan otaknya untuk berpikir dan belajar suatu konsep baru yang belum dipahami. Dalam pembelajaran konflik kognitif ini siswa yang berperan aktif, guru hanya bertindak sebagai fasilisator

dan mediator dalam pembelajaran. Siswa diberikan kebebasan untuk mengutarakan pendapat dalam menyelesaikan permasalahan konsep yang dihadapi sehingga kemampuan berpikir mereka dapat berjalan secara optimal. Dalam pembuktian konsep-konsep yang salah siswa langsung diberikan pengalaman berupa demonstrasi sehingga mereka merasa antusias dan tidak bosan selama mengikuti pembelajaran di kelas. Pada dasarnya model  pembelajaran tidak ada yang sempurna, oleh sebab itu kita harus lebih cerdas dalam memilih model pendekatan dengan kondisi lingkungan, siswa dan materi atau konsep yang akan diajarkan. Contohnya dalam penelitian ini ada beberapa kendala seperti kurangnya waktu untuk jam pelajaran, karena metode konflik kognitif ini cenderung membutuhkan waktu yang lebih lama. Namun masalah tersebut dapat diatasi dengan menyesuaikan pokok materi yang akan dibahas dengan lamanya jam pelajaran tiap pertemuan. Penelitian yang telah dilaksanakan menunjukkan bahwa pembelajaran yang menggunakan pendekatan konflik kognitif  terbukti efektif  jika digunakan dalam pencapaian hasil belajar kognitif, meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan pemahaman konsep siswa pada materi tekanan.

Pendekatan konflik kognitif dapat dijadikan alternatif untuk pelaksanaan pembelajaran fisika, namun dalam proses pembelajaran guru diharapkan dapat lebih memperhatikan kemampuan dasar penguasaan konsep siswa agar tidak terjadi miskonsepsi dalam pembelajaran fisika. Serta lebih kreatif dan inovatif dalam memilih model pembelajaran untuk siswa. Penelitian ini hanya sebagai referensi kita dalam kontribusi dunia pendidikan, selebihnya mungkin peneliti lain dapat memilih model pembelajaran lain atau mengembangkan model pembelajaran ini dengan lebih baik dan sebaiknya sesuaikan model pembelajaran yang dipakai dengan kondisi lingkungan dan kondisi siswa di kelas agar belajar dapat berjalan dengan baik.

Sumber:
Setyowati,dkk. 2011. Implementasi Pendekatan Konflik Kognitif Dalam Pembelajaran Fisika Untuk Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP Kelas VIII. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 7 (2011): 89-96

PENGARUH  TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN PENDIDIKAN TERHADAP PARTISIPASI ORANGTUA MURID DI  SMA NEGERI  107 JAKARTA




Transparansi adalah minat dan upaya untuk saling kontrol  melaluipemberian  informasi tentang setiap  kejadian    penting   dengan  akurat dan tepat waktu  dalam  aspek  kebijakan  anggaran, dokumen anggaran, laporan  pertanggungjawaban,   terakomodasinya  usulan bagi  publik, dan terdapat sistem pemberian informasi bagi publik. Sedangkan, Akuntabilitas adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclouser) dalam memenuhi kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi, yang terdiri dari berbagai komponen yang merupakan satu kesatuan, yaitu perencanaan stratejik, perencanaan kinerja,  pengukuran kinerja, dan pelaporan kinerja

Partisipasi adalah  kesadaran  dan kepedulian  Orangtua murid  dalam  melakukan aktivitas-aktivitas  turut serta mengambil keputusan, melaksanakan dan mengevaluasi keputusan dalam suatu program pendidikan di sekolah secara proporsional dilandasi kesepakatan.

Temuan pokok dari penelitian ini adalah bahwa minat atau kesediaan orangtua murid untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pendidikan di sekolah (dalam hal ini SMA Negeri 107 Jakarta) sangat bergantung pada sejauhmana tingkat transparansi (keterbukaan) dan akuntabilitas (ketanggung-gugatan) pihak sekolah, di bawah koordinasi kepala sekolah, dalam menyelenggarakan pendidikan. Satu hal yang menarik adalah bahwa di antara kedua variabel tersebut ternyata orangtua murid menilai akuntabilitas jauh lebih penting daripada transparansi dalam pengelolaan pendidikan sekolah.



Transparansi dan akuntabilitas, baik secara bersama-sama (simultan) maupun secara parsial, mempunyai pengaruh

positif terhadap partisipasi orangtua murid di SMA Negeri 107 Jakarta, di mana  semakin transparan dan akuntabel pengelolaan pendidikan dilakukan akan semakin tinggi pula tingkat  partisipasi orangtua murid di SMA Negeri 107 Jakarta. Ditemukan bahwa akuntabilitas pengaruhnya sedikit lebih kuat daripada transparansi. Artinya orangtua murid lebih mengutamakan akuntabilitas daripada transparansi dalam menentukan sejauhmana mereka bersedia berpartisipasi pengelolaan pendidikan.

Peran orangtua murid dalam mengembangkan kualitas pendidikan dinilai sangat penting bahkan dapat dikatakan sebagai bagian yang takterpisahkan. Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah untuk meningkatkan partisipasi orangtua murida dalam mengelola pendidikan, sebagaimana dihasilkan dalam penelitian ini, adalah melalui peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pendidika. Sudah tentu aspek lain di samping kedua aspek yang dikaji dalam penelitian ini harus juga mendapat perhatian dari pihak pengelola sekolah.  

Sumber:
Solihat & Toto. 2009. Pengaruh Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Pendidkan Terhadap Partisipasi Orangtua Murid. Jurnal Ekonomi Bisnis No. 2 Vol. 14, Agustus 2009

PROBLEMATIKA KURIKULUM 2013 DAN KEPEMIMPINAN INSTRUKSIONAL KEPALA SEKOLAH




Kekhawatiran banyak pihak menyangkut kesuksesan implementasi kurikulum 2013 adalah menyangkut kesiapan guru. Aktor utama yang dapat mempengaruhi guru adalah kepala sekolah. Kepemimpinannya akan berpengaruh langsung terhadap kinerja guru. Setelah kita pahami konsep Kepemimpinan Instruksional, kita yakin konsep ini akan menjadi salah satu solusi terhadap kekisruhan penerapan kurikulum 2013 yang telah menuai banyak kritik dan protes dari berbagai kalangan. Winataputra (2013) yang merupakan salah satu tokoh pendidikan nasional yang terlibat langsung dalam perumusan kurikulum 2013, dalam suatu pertemuan Rapat Perumusan Kurikulum PPG (Pendidikan Profesi Guru) di Palembang pada 15 Januari 2014, mengatakan bahwa untuk suksesnya penerapan kurikulum 2013, kepala sekolah harus berfungsi sebagai Instructional Leader (pemimpin instruksional).

Berdasarkan konsep Kepemimpinan Instruksional, di samping merumuskan dan mensosialisasikan visi-misi sekolah, pemimpin instruksional hars selalu concern dengan kurikulum. Kepala sekolah semacam ini selalu mengkoordinasikan kurikulum, mensupervisi dan mengevaluasi kurikulum, dan memonitor kemajuan siswa. Pemimpin Instruksional juga selalu fokus pada penciptaan iklim pembelajaran sesama guru (Developing School Learning Climate Program). Salah satu elemen daripada dimensi ini adalah perhatian kepala sekolah terhadap peningkatan profesionalisme guru, antara lain, seperti melalui MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). Oleh karena itu, kepala sekolah terutama yang memposisikan diri sebagai Instructional Leader akan memainkan peran yang sangat menentukan dalam menyukseskan penerapan kurikulum 2013. Kepala sekolah dapat mengintervensi pemberlakuan kurikulum 2013 melalui pengelolaan kurikulum dan program pengembangan profesi guru di sekolah.

Selama ini yang dilibatkan dalam pelatihan penerapan kurikulum 2013 hanya satu sampai dua orang guru saja. Seharusnya, alangkah tepatnya jika kepala sekolah yang diberi pemahaman secara mendalam, di samping guru, menyangkut implementasi kurikulum 2013, karena kepala sekolah adalah salah satu pihak yang paling bertanggungjawab atas keberhasilan penerapan kurikulum 2013. Sejumlah besar hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sekolah-sekolah unggul umumnya dipimpin oleh Instructional Leader. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa jika prestasi siswa hendak ditumbuhkan dan reputasi sekolah didongkrak, otoritas yang terkait dalam pengangkatan kepala sekolah seyogianya memastikan bahwa yang dinominasikan sebagai kepala sekolah mestilah yang berwawasan instruksional atau yang memberi prioritas pada kepentingan akademik, Instructional Leader.



Sumber: Jurnal Pencerahan Volume 8, Nomor 2, 2014  Halaman 98-108
Ahmad, Syarwan. 2014. Problematika Kurikukulum 2013 Dan Kepemimpinan Insruksional Kepala Sekolah. Jurnal Pencerahan Volume 8, Nomor 2, 2014  Halaman 98-108

Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah




a.       Kepala sekolah sebagai pemimpin yaitu kepala sekolah melakukan tanggung jawab melakukan perbaikan dan pengajaran. Keadaan tersebut dilandasi oleh anggapan bahwa tujuan utama penyelenggaraan pendidikan melalui sekolah adalah terciptanya lingkungan yang kondusif, sehingga proses belajar mengajar dapat tercapai secara efektif.

b.      Kepala sekolah sebagai menajer dalam mempengaruhi guru untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Sebagai manajer kepala sekolah harus mau dan mampu mendayagunakan seluruh sumber daya sekolah dalam maeningkatkan visi, misi dan memcapai tujuan sekolah.

c.       Kepala sekolah berperan sebagai pendidik mencakup dua hal pokok yaitu sasaran atau kepada siapa perilaku sebagai pendidik itu diarahkan dan bagaimana peran sebagai pendidik itu dilaksanakan 

d.      Kepala sekolah berperan sebagai administrator sangat diperlukan karena kegiatan di sekolah tidak terlepas dari pengelolaan administrasi yang bersifat pencatatan dan pendokumentasian seluruh program sekolah. Kepala sekolah dalam perannya sebagai administrator dalam hal ini juga berkenaan dengan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan kompetensi guru tidak terlepas dari faktor biaya.

e.       Kepala sekolah berperan sebagai motivator dengan memberikan motivasi kepada guru dan pegawai, serta mengatur lingkungan fisik dan suasana kerja. Apabila guru dan pegawai memiliki motivasi yang positif maka guru dan pegawai akan lebih memperhatikan miniat, mempunyai perhatian dan ikut serta dalam suatu tugas dan pekerjaan. Dengan kata lain guru dan pegawai akan melaksanakan pekerjaannya dengan baik apabila ada factor motivasi dorongan yang tinggi dari kepala sekolah.



Sumber: eJournal  Administrasi Negara,  2013, 1 (1): 210-224
Purwanti, Sri. 2013. Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Disiplin Kerja Guru Dan Pegawai Di SMA Bakti Sejahtera. eJournal  Administrasi Negara,  2013, 1 (1): 210-224

DESENTRALISASI PENDIDIKAN 



Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional yang semuanya mengarah pada rigiditas. Dengan demikian proses pendidikan cenderung diperlakukan sebuah pabrik. Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan, khususnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki "kepribadian" tidak banyak mendapatkan perhatian kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat dengan wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler dalam bentuk kliping koran.  Lebih lanjut, sentralisasi dan berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin luas dan kaku akan menjadikan keseragaman sebagai suatu tujuan. Hasilnya, berkembanglah manusia-manusia dengan mentalitas "juklak" dan "juknis" yang siap diberlakukan secara seragam. Akibat lebih jauh di masyarakat berkembang prinsip persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan komunikasi adalah komando; interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan tindakan yang tidak mengandung emosi.   Karena kemerosotan kualitas pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan organisasi sekolah menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan lingkungan sebagai akibat dari birokratisasi dunia, kualitas pendidikan yang bersifat sentralistis, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus didasarkan pada kebijaksanaan debirokratisasi dan desentralisasi.   Desentralisasi pendidikan merupakan suatu tindakan mendelegasikan wewenang

kepada satuan kerja yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Selanjutnya menurut Slamet (2005) desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan mutu layanan dan kinerja pendidikan, baik pemerataan, kualitas, relevansi, dan efesiensi pendidikan. Selain itu desentralisasi juga ditujukan untuk mengurangi beban pemerintah pusat yang berlebihan, mengurangi kemacetan-kemacetan jalur-jalur komunikasi meningkatkan kemandirian, demokrasi, daya tanggap, akuntabilitas, kreativitas, inovasi, prakarsa, dan meningkatkan pemberdayaan dalam pengelolaan dan kepemimpinan pendidikan. Permasalahannya yang lebih mendalam yang perlu diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentralisasi yang dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah kebijaksanaan desentralisasi hanya dilihat sebagai beloved untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi upaya untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan "   Tujuan yang perlu dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan. 



PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN YANG COCOK UNTUK INDONESIA  Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia. 

 Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan menggundul keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih. Semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.   Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan yang berorintesi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan berorientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan?   Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat multidisipliner. 







Sumber: Jurnal MEDTEK, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2011

Mappalotteng, Abdul Muis. 2011. Paradigma Pendidikan Berwawasan Global Dan Tantangannya. Jurnal MEDTEK, Volume 3, Nomor 2

DESENTRALISASI PENDIDIKAN 

Perkembangan pendidikan nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional yang semuanya mengarah pada rigiditas. Dengan demikian proses pendidikan cenderung diperlakukan sebuah pabrik. Akibatnya pihak-pihak yang terkait dalam pendidikan, khususnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki "kepribadian" tidak banyak mendapatkan perhatian kurikulum, guru dan aturan serta prosedur pelaksanaan pengajaran di sekolah dan juga di kelas ditentukan dari pusat dengan wewenangnya. Misalnya, keharusan mengajar dengan menggunakan pendekatan CBSA, kokurikuler dalam bentuk kliping koran.  Lebih lanjut, sentralisasi dan berkembangnya birokrasi pendidikan yang semakin luas dan kaku akan menjadikan keseragaman sebagai suatu tujuan. Hasilnya, berkembanglah manusia-manusia dengan mentalitas "juklak" dan "juknis" yang siap diberlakukan secara seragam. Akibat lebih jauh di masyarakat berkembang prinsip persetujuan sebagai kunci sukses; promosi dan komunikasi adalah komando; interaksi dicampurkan dengan pertemuan-pertemuan resmi; dan stabilitas yang dikaitkan dengan tindakan yang tidak mengandung emosi.   Karena kemerosotan kualitas pendidikan dikarenakan ketidak-mampuan organisasi sekolah menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan lingkungan sebagai akibat dari birokratisasi dunia, kualitas pendidikan yang bersifat sentralistis, maka untuk meningkatkan kualitas pendidikan harus didasarkan pada kebijaksanaan debirokratisasi dan desentralisasi.   Desentralisasi pendidikan merupakan suatu tindakan mendelegasikan wewenang

kepada satuan kerja yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Selanjutnya menurut Slamet (2005) desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan mutu layanan dan kinerja pendidikan, baik pemerataan, kualitas, relevansi, dan efesiensi pendidikan. Selain itu desentralisasi juga ditujukan untuk mengurangi beban pemerintah pusat yang berlebihan, mengurangi kemacetan-kemacetan jalur-jalur komunikasi meningkatkan kemandirian, demokrasi, daya tanggap, akuntabilitas, kreativitas, inovasi, prakarsa, dan meningkatkan pemberdayaan dalam pengelolaan dan kepemimpinan pendidikan. Permasalahannya yang lebih mendalam yang perlu diperfanyakan adalah "apakah kebijaksanaan desentralisasi yang dilaksanakan untuk seluruh fungsi dan kekuasaan sekolah-sekolah ataukah hanya untuk pembagian tugas-tugas administrasi? Apakah kebijaksanaan desentralisasi hanya dilihat sebagai beloved untuk mencapai efisiensi dengan mengurangi upaya untuk transformasi baik sistem maupun proses pendidikan "   Tujuan yang perlu dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan. 



PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN YANG COCOK UNTUK INDONESIA  Berbagai penyimpangan yang ada dalam masyarakat, misalnya membesarkan jumlah pengangguran, berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek pendidikan yang berwajah Indonesia. 

 Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk mengembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan menggundul keindahan yang tercerminkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih. Semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang.   Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan adakah nilai-nilai dan yang berorintesi budaya kita yang bisa dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan berorientasi budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan?   Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut di atas perlu dilaksanakan serangkaian penelitian yang bersifat multidisipliner. 







Sumber: 

Mappalotteng, Abdul Muis. 2011. Paradigma Pendidikan Berwawasan Global Dan Tantangannya. Jurnal MEDTEK, Volume 3, Nomor 2

Rabu, 29 November 2017

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD BERORIENTASI KETERAMPILAN PROSES

       Penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD berorientasi keterampilan proses dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam mata pelajaran fisika. Skor rata-rata aktivitas siswa juga lebih tinggi ketika diterapkan pembelajaran kooperatif tipe STAD berorientasi keterampilan proses. Performan siswa yang bekerja secara kelompok lebih baik dari pada yang bekerja secara individu (Chung & Mao, 1999).
      Kelebihan penerapan metode kooperatif tipe STAD berorientasi keterampilan proses adalah siswa berusaha mencari pengetahuannya sendiri dengan keterampilan proses yang dimiliki dan melatih siswa melaksanakan praktikum sehingga siswa mampu bekerja dan berdiskusi kelompok serta belajar merumuskan pengetahuan yang diperoleh sehingga pembelajaran terpusat pada siswa. Kekurangan penerapan STAD berorientasi kerampilan proses dalam meningkatkan pemahaman adalah membutuhkan peralatan laboratorium yang relatif lebih banyak.
      Kendala yang muncul dalam penerapan meode STAD berorientasi keterampilan proses adalah siswa belum terbiasa melakukan praktikum sehingga harus dibimbing dalam pelaksanaannya, peralatan yang jumlahnya terbatas juga menjadi kendala. Dalam kelas yang jumlah siswanya banyak maka kendala yang muncul adalah mengalami kerepotan dalam mengawasi dan membimbing pada saat melaksanakan praktikum.
      Disarankan dalam melaksanakan pembelajaran dengan metode kooperatif tipe STAD berorientasi keterampilan proses guru terlebih dahulu menerangkan cara kerja praktikum sehingga siswa mengetahui apa yang harus dikerjakan dan siap melaksanakan praktikum, selanjutnya agar pelaksanaan metode kooperatif tipe STAD berorientasi keterampilan proses dapat berhasil maka guru harus mengawasi dan membimbing siswa pada saat melaksanakan praktikum
sehingga siswa dapat bertanya pada guru apabila menemui kesulitan. Pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe STAD berorientasi keterampilan proses yang berhasil akan meningkatkan aktivitas dan pemahaman siswa.

Sumber:
Nugroho,dkk. 2009. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Berorientasi Keterampilan Proses. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 5 (2009): 108-112

PPT Pengelolaan Pendidikan

Pembelajaran fisika Berbasis Masalah Dengan Menggunakan Metode Demonstrasi Diskusi Dan Eksperimen Ditinjau Dari Kemampuan Verbal Dan Gaya Belajar




a.       Ada pengaruh penggunaan model pembelajaran fisika berbasis masalah dengan menggunakan metode demonstrasi diskusi dan eksperiment terhadap prestasi belajar fisika

b.      Ada pengaruh antara kemampuan verbal tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar fisika

c.       Ada pengaruh antara gaya belajar visual dan kinestetik terhadap prestasi belajar fisika

d.      Tidak ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran fisika berbasis masalah dengan menggunakan metode demonstrasi diskusi dan eksperiment dengan kemampuan verbal terhadap prestasi belajar fisika

e.       Ada intraksi antara penggunaan model pembelajaran fisika berbasis masalah dengan menggunakan metode demonstrasi diskusi dan eksperimen dengan gaya belajar terhadap prestasi belajar fisika

f.       Ada interaksi antara kemampuanverbal dan gaya belajar terhadap prestasi belajar fisika

g.       Tidak ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran fisika berbasis masalah dengan menggunakan metode demonstrasi diskusi dan eksperiment dengan kemampuan verbal dan gaya belajar terhadap prestasi belajar fisika

Sumber:

Siswati,dkk. 2012. Pembelajaran fisika Berbasis Masalah Dengan Menggunakan Metode Demonstrasi Diskusi Dan Eksperimen Ditinjau Dari Kemampuan Verbal Dan Gaya Belajar. Surakarta: Jurnal Inkuiri. Vol.1, No.2:132-141

PPT SBM Problem Based Learning

Jumat, 19 Mei 2017

MEDIA PEMBELAJARAN FISIKA



MEDIA PEMBELAJARAN FISIKA
1.1 Pengertian Media
kata “media” berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata mediun . yang secara harfiah berarti “perantara atau pengantar”. Dengan demikian media merupakan wahana penyalur informasi belajar atau penyalur pesan.
Media adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan sebagai penyalur pesan guna mencapai tujuan pengajaran. Yang keluar dari sumber informasi(komunikator)
Media dalam proses komunikasi merupakan sarana agar materi informasi (pesan) yang keluar dari sumber informasi (komunikator) dapat diterima/sampai kepada penerima informasi (komunikan).didalam berkomunikasi, proses komunikasi yang baik adalah bila materi informasi (pesan) yang keluar dari komunikator dapat diterima (tertangkap) oleh penerima informasi dengan benar (isi/materi pesan sesuai harapan komunikator) dan cepat (dalam waktu yang relative singkat) . dengan ini, media komunikasi yang baik adalah sarana fisik yang dapat membantu secara efektif dan efisien dalam menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan.
1.2 Media Sebagai Alat Bantu
media sebagai alat bantu dalam proses belajar mengajar adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.karena memang gurulah yang menghendakinya untuk membantu tugas guru dalam menyampaikan pesan-pesan dari bahan pelajaran yang diberikan oleh guru kepada anak didik.guru sadar bahwa tanpa bantuan media, maka bahan pelajaran sukar untuk dicerna dan dipahami oleh setiap anak didik, terutama bahan pelajaran yang rumit atau kompleks.
Sebagai alat bantu, media mempunyai fungsi melicinkan jalan menuju tercapainya tujuan pengajaran.hal ini dilandasi dengan keyakinan bahwa proses belajar mengajar dengan bantuan media mempertinggi kegiatan belajar anak didik dalam tenggang waktu yang cukup lama. Itu berarti kegiatan belajar anak didik ddengan bantuan media akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih baik dari pada tanpa bantuan media.
1.3 Media Sebagai Sumber Belajar
belajar mengajar adalah suatu proses yang mengolah sejumlah nilai untuk dikonsumsi oleh setiap anak didik. Nilai-nilai itu tidak dating dengan sendirinya , tetapi terambil dari berbagai sumber. Sumber belajar yang sesungguhnya banyak sekali terdapat dimana-mana; di sekolah, di halaman, di pusat kota, di pedesaan, dan sebagainya. Udin dan winataputra (199;65) mengelompokkan sumber-sumber belajar menjadi lima kategori yaitu mausia, buku / perpustakaan, media massa, alam lingkungan, dan media pendidikan. Karena itu , sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang.
1.4 Macam-Macam Media
1. dilihat dari jenisnya, media dibagi ke dalam :
a. Media Auditif
media auditif adalah media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti radio, cassette recorder, piringan hitam. Media ini tidak cocok untuk orang tuli atau mempunyai kelainan dalam pendengaran.
b. Media Visual
media visual adalah media yang hanya mengandalkan indra penglihatan. Media visual ini ada yang menampilkan gambar diam seperti film strip (film rangkai) , slides(film bingkai) foto, gambar atau lukisan, cetakan. Ada pula media visual yang menampilkan gambar atau symbol yang bergerak seperti film bisu, film kartun.
c. Media Audovisual
media audiovisual adalah media yang mempunyai unsure suara dan unsure gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua. Media ini di bagi kedalam :
a. Audiovisual Diam
audiovisual diam yaitu media yang menampilkan suara dan gambar diam seperti film bingkai suara (sound slides) , film rangkai suara, cetak suara.
b. Audiovisual Gerak
Audiovisual gerak yaitu media yang dapat menampilakan unsure suara dan gambar yang bergerak seperti film suara dan video-cassette.
c. Audiovisual Murni
Audiovisual murni yaitu baik unsure suara maupun unsure gambar berasal dari suatu sumber seperti film video cassette, dan
d. Audiovisual tidak murni
Audiovisual tidak murni yaitu unsure suara dan unsure gambarnya berasal dari sumber yang berbeda, misalnya film bingkai suara yang unsure gambarnya bersumber dari slides proyektor dan unsure suaranya bersumber dari tape recorder.
2. di lihat dari daya inputnya, media dibagi ke dalam :
a. Media dengan Daya Input Luas dan Serentak
penggunaan media ini tidak terbatas oleh tempat dan ruang serta dapat menjangkau jumlah anak didik yang banyak dalam waktu yang sama. Contoh : radio dan televisi
b. Media dengan Daya Input yang Terbatas oleh Ruang dan Tempat
media ini dalam penggunaannya membutuhkan ruang dan tempat yang khusus seperti film, sound slides, film rangkai, yang harus menggunakan tempat yang tertutup dan gelap.
c. Media untuk Pengajaran Individual
Media ini penggunaannya hanya untuk seorang diri. Yang termasuk media ini adalah modul berprogram dan pengajaran melalui computer.
3. di lihat dari bahan pembuatannya, media dibagi ke dalam :
a. Media Sederhana
Media ini bahan dasarnya mudah diperoleh dan harganya murah, dan penggunaannya tidak sulit.
b. Media Kompleks
Media ini adalah media yang bahan dan alat pembuatannya sulit diperoleh serta mahal harganya, sulit membuatnya, dan penggunaannya membutuhkan keterampilan yang memadai.
1.5 Prinsip Pemilihan dan Penggunaan Media
Drs. Sudirman N. (1991) mengemukakan beberapa prinsip pemilihan media pengajaran yang dibaginya ke dalam tiga kateori, sebagai berikut :
1. Tujuan Pemilihan
Memilih media yang akan digunakan harus berdasarkan maksud dan tujuan pemilihan yang jelas. Apakah pemilihan media itu untuk pembelajaran (siswa belajar), untuk informasi yang bersifat umum, ataukah untuk sekadar hiburan saja mengisi waktu kosong? Lebih spesifik lagi, apakah untuk pengajaran kelompok atau pengajaran individual, apakah untuk sasaran tetentu seperti anak TK, SD, SMU, tuna netra, tuna rungu, masyarakat pedesaan, ataukah masyarakat perkotaan. Tujuan pemilihan ini berkaitan dengan kemampuan berbagai media.
2. Karakteristik Media Pengajaran
Setiap media mempunyai karakteristik tertentu, baik dilihat dari segi keampuhannya, cara pembuatanya, maupun cara penggunaannya. Memahami karakteristik berbagai media pengajaran merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki guru dalam kaitannya dengan keterampilan pemilihan media pengajaran. Di samping itu memberikan kemungkinan pada guru untuk menggunakan berbagai jenis media pengajaran media secara bervariasi. Sedangkan apabila kurang memahami karakteristik media tersebut, guru akan dihadapkan kepada kesulitan dan cenderung bersikap spekulatif.
3. Alternatif Pilihan
Memilih pada hakekatnya adalah proses membuat keputusan dari berbagai alternative pilihan. Guru biasa menentukan pilihan media mana yang akan digunakan apabila terdapat beberapa media yang dapat diperbandingkan. Sedangkan apabila media pengajaran itu hanya ada satu, maka guru tidak bias memilih, tetapi menggunakan apa adanya.
Dalam menggunakan media hendaknya guru memperhatikan sejumlah prinsip tertentu agar penggunaan media mencapai hasil yang baik. Prinsip – prinsip itu menurut Drs. Nana Sudjana (1991:104) adalah
1. Menentukan jenis media yang tepat; artinya ssebaiknya guru memilih terlebih dahulu media manakah yang sesuai dengan tujuan dan bahan pelajaran yang akan diajarkan.
2. Menetapkan atau memperhitungkan subjek dengan tepat; artinya perlu diperhitungkan apakah penggunaan media itu sesuai dengan tingkat kematangan atau kemampuan anak didik.
3. Menyajikan media dengan tepat; artinya teknik dan metode penggunaan media dalam pengajaran haruslaah disesuaikan dengan tujuan, bahan metode, waktu, dan sarana yang ada.
4. Menempatkan atau pemperlihatkan media pada waktu, tempat, dan situasi yang tepat; artinyakapan dan dalam situasi mana pada waktu mengajar media digunakan. Tentu tidak setiap saat atau selama proses belajar mengajar terus-menerus memperlihatkan atau menjelasakan sesuatu dengan media pengajaran.
1.6 Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Memilih Media Pembelajaran
a. Objektivitas
b. Program pengajaran
c. Sasaran program
d. Situasi dan kondisi
e. Kualitas teknik
f. Keefektifan dan efisiensi pengganggu
1.7 Pengembangan Media Pembelajaran Fisika
a. Syarat Pengembangan Media
Media pada dasarnya alat bantu komunikasi atau membantu untuk mempermudah dalam menyampaikan pesan bagi komunikator (guru) dan menerima pesan bagi komunikan (siswa) atau dalam pembelajaran sebagai fasilitas untuk mempermudah dalam mempelajari, menelaah, menguasai konsep-konsep materi yang termuat dalam media tersebut. Oleh karena itu dalam pengembangan media pembelajaran perlu mempertimbangkan beberapa syarat yang cenderung bersifat, yaitu :
a) Visibel (mudah dilihat)
b) Interesting (menarik)
c) Simple (sederhana)
d) Useful(berguna / bermanfaat)
e) Accurate (benar dan dapat dipertanggungjawabkan)
f) Legitimate (masuk akal dan sah)
g) Structured (terstruktur / tersusun dengan baik)
b. Prosedur Pengembangan Media Pembelajaran Fisika
1) penyusunan rancangan, meliputi :
a. pengertian media pembelajaran fisika yang akan dikembangkan,
b. analisis kebutuhan dan karakteristik siswa yaitu pertimbangan potensi siwa secara klasikal dan kebiasaan atau kesenangan siswa dalam belajar fisika dan lainnya,
c. perumusan pembelajaran fisika
d. pengembangan materi pembelajaran fisika, sejauh mana materi fisika yang akan diberikan untuk dikuasai siswa dengan bantuan media yang akan diterapkan, dan
e. perumusan alat ukur, berkaitan dengan panduan untuk pengamatan aktivitas KBM dan penguasaan materi.
2) penulisan naskah
berkaitan dengan narasi tentang cara melaksanakan pembuatan media dan cara aplikasinya dalam aktivitas KBM, isinya diantaranya :
a. pengertian tentang media yang akan dikembangkan, maksud pengembangannya, dan scenario media dalam KBM
b. langkah-langkah memproduksi media tersebut
c. penyusunan pedoman evaluasi pengembangan dan aplikasi media.
3) produksi media
berkaitan dengan pembuatan media berdasarkan naskah yang telah ditulis pada point 2.
4) evaluasi program media
berkaitan dengan pelaksanaan uji dan penerapan naskah point 2.c pada implementasi point 3 dalam simulasi dan dalam KBM sesungguhnya.


sumber: http://erin-belajarfisikayangmenyenangkan.blogspot.co.id/2009/05/media-pembelajaran-fisika.html

Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran

Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran


Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran
Levie & Lents dalam Azhar Arsyad (2007: 16) mengemukakan empat fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, dan fungsi kompensatoris.
Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. Media gambar atau animasi yang diproyeksikan melalui LCD (Liquid Crystal Display) dapat memfokuskan dan mengarahkan perhatian mereka kepada pelajaran yang akan mereka terima. Hal ini berpengaruh terhadap penguasaan materi pelajaran yang lebih baik oleh siswa.
Fungsi afektif media visual dapat terlihat dari tingkat keterlibatan emosi dan sikap siswa pada saat menyimak tayangan materi pelajaran yang disertai dengan visualisasi. Misalnya, tayangan video gambar simulasi kegiatan pengelolaan arsip, video penggunaan mesin-mesin kantor, dan sejenisnya.
Fungsi kognitif media visual terlihat dari kajian-kajian ilmiah yang mengemukakan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar. Sedangkan fungsi kompensatoris dari media pembelajaran dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa media visual membantu pemahaman dan ingatan isi materi bagi siswa yang lemah dalam membaca.
Secara lebih khusus, Kemp & Dayton dalam (1985: 3-4) mengidentifikasi delapan manfaat media dalam pembelajaran, yaitu:
”(1) penyampaian perkuliahan menjadi lebih baku, (2) pembelajaran cenderung menjadi lebih menarik, (3) pembelajaran menjadi lebih interaktif, (4) lama waktu pembelajaran dapat dikurangi, (5) kualitas hasil belajar siswa lebih meningkat, (6) pembelajaran dapat berlangsung di mana dan kapan saja, (7) sikap positif siswa terhadap materi belajar dan proses belajar dapat ditingkatkan, (8) peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif.”
            Oleh karena banyaknya manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan media pembelajaran, maka guru sebagai sumber pembawa informasi bagi peserta didik hendaknya menyadari akan pentingnya penggunaan media dalam pembelajaran.
Mendukung pendapat di atas, Sudjana & Rivai (1992: 2), menyebutkan bahwa media pembelajaran dalam proses belajar bermanfaat agar:
” a). Pembelajaran lebih menarik perhatian sehingga menumbuhkan motivasi belajar siswa.
b).  Materi pembelajaran akan lebih mudah dipahami oleh siswa.
c).  Metode mengajar menjadi lebih variatif sehingga dapat mengurangi kebosanan belajar.
d).  Siswa lebih aktif melakukan kegiatan belajar.”
Sedangkan Arif  S. Sadiman, dkk. (2006: 17-18) menjelaskan kegunaan media pembelajaran sebagai berikut:
” a).  Memperjelas penyajian pesan.
b).  Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera.
c).  Mengatasi sikap pasif, sehingga peserta didik menjadi lebih semangat dan lebih mandiri dalam belajar.
d).  Memberikan rangsangan, pengalaman, dan persepsi yang sama terhadap materi belajar.“
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, media pembelajaran sangat dirasakan manfaatnya dalam proses belajar mengajar. Secara umum, media pembelajaran bermanfaat untuk memperlancar interaksi dosen dan mahasiswa, dengan maksud membantu mahasiswa belajar secara optimal.

Cara Menggunakan Phet

Cara Menggunakan Phet

PhET (Physics Education Technology)  ialah sebuah situs yang menyediakan simulasi pembelajaran fisika dan kimia yang gratis untuk di download untuk kepentingan pengajaran di kelas atau dapat digunakan untuk kepentingan belajar individu. PheT merupakan software pembelajaran dari Universitas Colorado.

Simulasi yang disediakan PhET sangat interaktif yang mengajak siswa untuk belajar dengan cara mengeksplorasi secara langsung. Simulasi PhET ini membuat suatu animasi fisika yang abstrak atau tidak dapat dilihat oleh mata telanjang, seperti : atom, elektron, foton, dan medan magnet. Interaksi yang dilakukan berupa menekan tombol, menggeser benda atau memasukkan suatu data. Kemudian saat itu juga akibat dari interaksi yang dilakukan akan segera terlihat.

Untuk eksplorasi secara kuantitatif, simulasi PhET ini memiliki alat-alat ukur di dalamnya seperti penggaris, stop-watch, voltmeter, dan termometer. Sahabat tinggal memakainya untuk mengukur suatu besaran. Hebat bukan? Benar-benar seperti memiliki laboratorium fisika sendiri, namun yang kita miliki ialah laboratorium virtual.

Simulasi PhET ini sendiri mudah digunakan, selain online langsung, sahabat pun dapat mengguanakannya secara offline di rumah. Dengan syarat di komputer sahabat mempunyai program Java dan Flash. Tetapi, sahabat tidak perlu bingung apabila tidak memiliki software tersebut karena di PhET sendiri menyediakan download paket simulasi + Java + flash.

Jika sahabat sudah tidak sabar lagi ingin mencobanya dapat men-klik di bawah ini :

Simulasi Online / Coba langsung di situs PhET
atau

Simulasi Offline / Download Full Installation
Untuk info lebih lanjut dapat mengunjungi situs resmi PhET.
sumber:https://fisikafitri.wordpress.com/2013/07/19/simulasi-dan-animasi-fisika-phet

kriteria pemilihan media

kriteria pemilihan media
Media pembelajaran sangat berperan untuk keberhasilan proses belajar mengajar. Peranan media pembelajaran terutama adalah untuk membantu penyampaian materi kepada siswa. Dalam hal ini bisa terlihat bahwa tingkat kualitas atau hasil belajar juga dipengaruhi oleh kualitas media pembelajaran yang digunakan.
Untuk mendapatkan kualitas media pembelajaran yang baik agar dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam proses belajar mengajar, maka diperlukan pemilihan dan perencanaan penggunaan media pembelajaran yang baik dan tepat. Pemilihan media pembelajaran yang tepat ini menjadikan media pembelajaran efektif digunakan dan tidak sia-sia jika diterapkan.
Arsyad (2013: 74) menjelaskan bahwa kriteria pemilihan media bersumber dari konsep bahwa media pembelajaran merupakan bagian dari sistem instruksional secara keseluruhan. Maka beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media pembelajaran yang baik adalah sebagai berikut:
Sesuai Dengan Tujuan
Media pembelajaran harus dipilih berdasarkan tujuan instruksional dimana akan lebih baik jika mengacu setidaknya dua dari tiga ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Hal ini bertujuan agar media pembelajaran sesuai dengan arahan dan tidak melenceng dari tujuan. Media pembelajaran juga bukan hanya mampu mempengaruhi aspek intelegensi siswa, namun juga aspek lain yaitu sikap dan perbuatan.
Tepat Mendukung Materi yang Bersifat Fakta, Konsep, Prinsip, dan Generalisasi
Tidak semua materi dapat disajikan secara gamblang melalui media pembelajaran, terkadang harus disajikan dalam konsep atau simbol atau sesuatu yang lebih umum baru kemudian disertakan penjelasan. Ini memerlukan proses dan keterampilan khusus dari siswa untuk memahami hingga menganalisis materi yang disajikan. Media pembelajaran yang dipilih hendaknya mampu diselaraskan menurut kemampuan dan kebutuhan siswa dalam mendalami isi materi.
Praktis, Luwes, dan Bertahan
Media pembelajaran yang dipilih tidak harus mahal dan selalu berbasis teknologi. Pemanfaatan lingkungan dan sesuatu yang sederhana namun secara tepat guna akan lebih efektif dibandingkan media pembelajaran yang mahal dan rumit. Simpel dan mudah dalam penggunaan, harga terjangkau dan dapat bertahan lama serta dapat digunakan secara terus menerus patut menjadi salah satu pertimbangan utama dalam memilih media pembelajaran.
Mampu dan Terampil Menggunakan


Apapun media yang dipilih. guru harus mampu menggunakan media tersebut. Nilai dan manfaat media pembelajaran sangat ditentukan oleh bagaimana keterampilan guru menggunakan media pembelajaran tersebut. Keterampilan penggunaan media pembelajaran ini juga nantinya dapat diturunkan kepada siswa sehingga siswa juga mampu terampil menggunakan media pembelajaran yang dipilih.
Pengelompokan Sasaran
Siswa terdiri dari banyak kelompok belajar yang heterogen. Antara kelompok satu dengan yang lain tentu tidak akan sama. Untuk itu pemilihan media pembelajaran tidak dapat disama ratakan, memang untuk media pembelajaran tertentu yang bersifat universal masih dapat digunakan, namun untuk yang lebih khusus masing-masing kelompok belajar harus dipertimbangkan pemilihan media pembelajaran untuk masing-masing kelompok.
Hal yang perlu diperhatikan mengenai kelompok belajar siswa sebagai sasaran ini misalnya besar kecil kelompok yang bisa digolongkan menjadi 4 yaitu kelompok besar, kelompok sedang, kelompok kecil, dan perorangan. Latar belakang secara umum tiap kelompok perli diperhatikan seperti latar belakang ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Kemampuan belajar masing-masing siswa dalam kelompok juga wajib diperhatikan untuk memilih mana media pembelajaran yang tepat untuk dipilih.
Mutu Teknis
Pemilihan media yang akan digunakan harum memenuhi persyaratan teknis tertentu. Guru tidak bisa asal begitu saja menentukan media pembelajaran meskipun sudah memenuhi kriteria sebelumnya. Tiap produk yang dijadikan media pembelajaran tentu memiliki standar tertentu agar produk tersebut laik digunakan, jika produk tersebut belum memiliki standar khusus guru harus mampu menentukan standar untuk produk tersebut agar dapat digunakan untuk media pembelajaran.
Pemilihan media pembelajaran yang akan digunakan dalam pembelajaran yang memperhatikan kriteria-kriteria tersebut akan menghasilkan atau menemukan media pembelajaran yang berkualitas dan sesuai atau tepat digunakan untuk masing-masing materi pembelajaran. Media pembelajaran yang dipilih juga mampu dengan mudah membantu guru menyampaikan materi kepada siswa, siswa juga dapat lebih mudah menerima dan memahami materi pembelajaran dengan bantuan media pembelajaran yang sudah dipilih berdasarkan kriteria diatas.
Beberapa nilai tambah lain juga bisa didapat jika tepat dalam pemilihan media pembelajaran. Misalnya saja siswa mampu menambah atau meningkatkan keterampilan tertentu seperti mendengarkan dan konsentrasi. Dari segi ke-ekonomis-an pemilihan media pembelajaran yang mampu digunakan berkali-kali juga sangat dapat menekan biaya atau anggaran untuk pengadaan dan produksi media pembelajaran.

sumber: http://ilmu-pendidikan.net/pembelajaran/media-pembelajaran/kriteria-pemilihan-media-pembelajaran-yang-baik

Tanda-Tanda Bahaya

KESELAMATAN KERJA DI LABORATORIUM


KESELAMATAN KERJA DI LABORATORIUM


Jenis-jenis Bahaya dalam Laboratorium
            Menurut Nuryani R (2005 : 142) jenis-jenis bahaya dalam laboratorium diantaranya adalah ;
1.      Kebakaran, sebagai akibat penggunaan bahan-bahan kimia yang mudah terbakar seperti pelarut organik, aseton, benzene, etil alcohol, etil eter, dll.
2.      Ledakan, sebagai akibat reaksi eksplosif dari bahan-bahan reaktif seperti oksidator.
3.      Keracunan bahan kimia yang berbahaya, seperti arsen, timbal, dll.
4.      Iritasi yaitu peradangan pada kulit atau saluran pernapasan dan juga pada mata sebagai kontak langsung dengan bahan-bahan korosif.
5.      Luka pada kulit atau mata akibat pecahan kaca, logam, kayu dll
6.      Sengatan listrik.

Pencegahan Kecelakaan Kerja dalam Laboratorium
Menurut Moh. Amien (1998 : 73-74), menjelaskan usaha atau tindakan pencegahan kecelakaan di laboratorium yang paling baik adalah bersikap dan bertindak hati-hati, bekerja dengan teliti dan tidak ceroboh serta manati segala peraturan dan tata tertib yang berlaku. Usaha atau tindakan pencegahan kemungkinan timbulnya kecelakaan antara lain :
1.      Penyediaan berbagai alat atau bahan yang ditempatkan di tempat yang mudah dicapai. Alat dan bahan itu misalnya :
a.       Ember berisi pasir, untuk menanggulangi kebakaran kecil agar tidak terjadi kebakaran yang besar.
b.      Alat pemadam kebakaran, jug selimut yang terbuat dari bahan tahan api.
c.       Kotak PPPK untuk memberikan pertolongan pertama.
2.      Tidak mengunci pintu pada waktu laboratorium sedang dipakai dan mengunci pintunya pada waktu laboratorium tidak digunakan.
3.      Pada waktu di laboratorium tidak ada guru atau laboran, siswa tidak diperkenankan masuk.
4.      Penyimpanan bahan-bahan yang mudah terbakar di tempat yang khusus, tidak berdekatan dengan nyala api atau tempat yang ada percikan api listrik, misalkan pada alat yang memakai relay atau motor listrik.
5.      Penyimpanan bahan-bahan yang tergolong racun atau berbahaya (misalnya air raksa dan bahan kimia lain) di tempat terkunci dan aman.
6.      Pengadaan latihan-latihan cara mengatasi kebakaran secara periodik.
7.      Penggunaan tegangan listrik yangrendah saja dalam melakukan percobaan listrik misalnya 12 volt atau 15 volt.
8.      Pengadaan saklar pusat untuk lsitrik, sehingga jika diperlukan semua aliran listrik di dalam laboratorium dapat diputuskan.
9.      Penggantian kawat sekering pengaman harus dilakukan dengan sekering yang setara.
10.  Pengadaan jaringan listrik tambahan tidak diperkenankan kecuali yang dilakukan oleh instalator listrik dengan izin dari PLN.


Pencegahan Kecelakaan Kerja dalam Laboratorium
Menurut Moh. Amien (1998 : 73-74), menjelaskan usaha atau tindakan pencegahan kecelakaan di laboratorium yang paling baik adalah bersikap dan bertindak hati-hati, bekerja dengan teliti dan tidak ceroboh serta manati segala peraturan dan tata tertib yang berlaku. Usaha atau tindakan pencegahan kemungkinan timbulnya kecelakaan antara lain :
1.      Penyediaan berbagai alat atau bahan yang ditempatkan di tempat yang mudah dicapai. Alat dan bahan itu misalnya :
a.       Ember berisi pasir, untuk menanggulangi kebakaran kecil agar tidak terjadi kebakaran yang besar.
b.      Alat pemadam kebakaran, jug selimut yang terbuat dari bahan tahan api.
c.       Kotak PPPK untuk memberikan pertolongan pertama.
2.      Tidak mengunci pintu pada waktu laboratorium sedang dipakai dan mengunci pintunya pada waktu laboratorium tidak digunakan.
3.      Pada waktu di laboratorium tidak ada guru atau laboran, siswa tidak diperkenankan masuk.
4.      Penyimpanan bahan-bahan yang mudah terbakar di tempat yang khusus, tidak berdekatan dengan nyala api atau tempat yang ada percikan api listrik, misalkan pada alat yang memakai relay atau motor listrik.
5.      Penyimpanan bahan-bahan yang tergolong racun atau berbahaya (misalnya air raksa dan bahan kimia lain) di tempat terkunci dan aman.
6.      Pengadaan latihan-latihan cara mengatasi kebakaran secara periodik.
7.      Penggunaan tegangan listrik yangrendah saja dalam melakukan percobaan listrik misalnya 12 volt atau 15 volt.
8.      Pengadaan saklar pusat untuk lsitrik, sehingga jika diperlukan semua aliran listrik di dalam laboratorium dapat diputuskan.
9.      Penggantian kawat sekering pengaman harus dilakukan dengan sekering yang setara.
10.  Pengadaan jaringan listrik tambahan tidak diperkenankan kecuali yang dilakukan oleh instalator listrik dengan izin dari PLN.


Cara Mengidentikasi Bahaya Menggunakan Konsep “Penilaian Resiko”
            Menurut John Ridley (2008 : 47- 48), cara pencegahan bahaya menggunakan konsep “Penilaian Resiko” bertujuan untuk menghilangkan, mengurangi, dan mengendalikan bahaya sebelum terjadi kecelakaan yang dapat mengakibatkan cedera tubuh maupun kerusakan fisik sarana laboratorium. Adapun langkah-langkahnya adalah sbb.:
1. Mengidentifikasi tugas dan proses
2.Mengidentifikasi macam-macam bahaya
3.Menghilangkan atau mengurangi bahaya hingga minimum
4.Mengevaluasi resiko, dan mempredeksi tingkat resiko
5.Mengembangkan strategi pencegahan
6.Melakukan pelatihan metode kerja baru
7.Mengimplementasikan upaya pencegahan
8.Memonitor kerja
9. Melakukan kajian ulang secara berkala.



Inspeksi Tingkat Masalah sesuai dengan Penilaian Faktor Resiko (John Ridley, 2006) :
1.      Kondisi tempat kerja
a.       Temperature
b.      Penerangan
c.       Kebersihan
d.      Asap & debu
e.       Penataan yang aman
2.      Fasilitas kenyamanan
a.       P3K
b.      Toilet
c.       Kantin
3.      Tindakan pencegahan kebakaran
a.       Alat pemadamapi
b.      Rute-rute evakuasi
c.       Alarm api
d.      Area lokasi untuk merokok
4.      Alat-alat permesinan / alat-alat listrik
a.       Arus pemutus listrik
b.      Alat pengaman mesin
c.       Penggunaan APD (Alat Pelindung Diri)
5.      Akses jalan dan pintu emergency
a.       Permukaan lantai tidak licin
b.      Penerangan yang cukup
c.       Pintu mudah dibuka
d.      Tangga darurat

Pengelolaan Limbah Laboratorium
Asal limbah dari :
1.         Bahan baku kadaluwarsa
2.         Bahan habis pakai
3.         Produk proses di laboratorium
Klasifikasi limbah berdasarkan sifat bahayanya :
1.         Korosif
2.         Reaktif
3.         Mudah terbakar
4.         Beracun

Tabel 1. Klasifikasi limbah kimia berdasarkan sifat tingkat bahaya
Ringan
Berat
Sangat Beracun
Asam astat
Aseton
Benzene
Alumunium klorida
Kloro benzene
Cadmium klorida
Besi klorida
Kobalt nitrat
Kloroform
Magnesium klorida
Tembaga sulfat
Nikel sulfat
Metanol
Timah hitam klorida
Kalium kromat


Cara Pengumpulan dan Pembuangan Limbah Laboratorium
1.      Limbah dikumpulkan dan dibuang dalam wadhah terpisah menurut tipe bahan kimia.
2.      Wadhah diberi label yang tercantum macam-macam zat kimia.
3.      Pengecekan asam basa.
4.      Sebelum dikumpulkan dilakukan penetralan.
5.      Pilih wadhah yang tepat dan aman.
6.      Perhatikan sifat zat kimia yang dapat memunculkan reaksi eksothermis hingga ledakan.

Catatan :
jangan membuang limbah ke lingkungan atau salauran air dan kelompokkan limbah sesuai klasifikasinya !


Kesehatan di Laboratorium
            Substansi dalam berbagai bentuk dapat menimbulkan pengaruh merugikan bagi kesehatan pengguna laboratorium. Memahami substansi-substansi tersebut dapat membantu upaya pencegahan untuk mengurangi atau menghilangkan factor resiko. Berikut ini akan disajikan penyebab dan gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan bagi pengguna laboratorium.
Tabel 2. Macam-macam Material dan Gangguan Kesehatan Tubuh
No.
Bentuk Material
Reaksi Tubuh
1.
Debu
Terganggunya fungsi paru-paru (asbestosis dan silikosis)
2.
Racun
Kerusakan organ pencernaan
3.
Zat pelarut
Iritasi lemak kulit, kerusakan sistem syaraf, dan kerusakan organ pencernaan
4.
Korosif (asam & alkali)
Jaringan tubuh mengalami kerusakan
5.
Iritan    
Iritasi kulit dan kerusakan paru-paru
6.
Karsinogen
Menyebabkan kanker
7.
Gas (klorin, karbon monoksida, hydrogen solvida)
Mata & paru-paru rusak
8.
Logam
 (timbal, mercuri, arsenik)
Organ pernapasan, pencernaan, dan jaringan tubuh rusak
9.
Radiasi ionisasi
Sperma & sel darah putih rusak dengan gejala mual, muntah, dan pingsan
10.
Suara bising
Stress dan kehilangan / penurunan fungsi pendengaran
11.
Panas & lembab
Kejang, kram, dan kelelahan
12.
Mikroorganisme (virus, bakteri& jamur)
Hepatitis A & B, tetanus, antraks, laptospirosis, dan penyakit kulit



Daftar Pustaka

Dwi Tun Indayani. 2008. Pengetahuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Guru Biologi dan Penerapannya pada Praktikum Laboratorium di SMA Negeri Tegal. Yogyakarta : FMIPA UNY (Laporan Penelitian)

Ismoyo Djati. 2010. Bagaimana Mencapai Zero Accident di Perusahaan? Jakarta : Rumah Sakit Pertamina

John Ridley. 2008. Health and Safety  in Brief. England : Elsevier Ltd

Koesmadji W. 2004. Teknik Laboratorium. Bandung : FMIPA UPI

Moh. Amien. 1998. Buku Pedoman Laboratorium dan Petunjuk Praktikum Pendidikan IPA. Jakarta : Depdikbud

Nuryani R. 2005. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang : Universitas Negeri Malang

Suma’mur. 1981. Keselamatan Kerja dan pencegahan Kecelakaan. Jakarta : PT Gunung Agung

Tjandra Yoga Aditama dan Tri Hastuti. 2010. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta : Universitas Indonesia

www.nyu.edu/ehs/waste.disposal/lab.waste.html [diakses 14 November 2012 jam 10.10 WIB]

sumber:http://yayankyu.blogspot.co.id/2013/10/keselamatan-kerja-di-laboratorium.html

Pengertian, fungsi , dan peranan laboratorium

Pengertian, fungsi ,  dan peranan laboratorium



Laboratorium (disingkat lab) adalah tempat riset ilmiah, eksperimen, pengukuran ataupun pelatihan ilmiah dilakukan. Laboratorium biasanya dibuat untuk memungkinkan dilakukannya kegiatan-kegiatan tersebut secara terkendali (Anonim, 2007). Sementara menurut Emha (2002), laboratorium diartikan sebagai suatu tempat untuk mengadakan percobaan, penyelidikan, dan sebagainya yang berhubungan dengan ilmu fisika, kimia, dan biologi atau bidang ilmu lain.
Pengertian lain menurut Sukarso (2005), laboratorium ialah suatu tempat dimana dilakukan kegiatan kerja untuk mernghasilkan sesuatu. Tempat ini dapat merupakan suatu ruangan tertutup, kamar, atau ruangan terbuka, misalnya kebun dan lain-lain.
Berdasarkan definisi tersebut, laboratorium adalah suatu tempat yang digunakan untuk melakukan percobaan maupun pelatihan yang berhubungan dengan ilmu fisika, biologi, dan kimia atau bidang ilmu lain, yang merupakan suatu ruangan tertutup, kamar atau ruangan terbuka seperti kebun dan lain-lain.
2.2. Fungsi Laboratorium
Menurut Sukarso (2005), secara garis besar laboratorium dalam proses pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Sebagai tempat untuk berlatih mengembangkan keterampilan intelektual melalui kegiatan pengamatan, pencatatan dan pengkaji gejala-gejala alam.
2. Mengembangkan keterampilan motorik siswa. Siswa akan bertambah keterampilannya dalam mempergunakan alat-alat media yang tersedia untuk mencari dan menemukan kebenaran.
3. Memberikan dan memupuk keberanian untuk mencari hakekat kebenaran ilmiah dari sesuatu objek dalam lingkungn alam dan sosial.
2.1.
4. Memupuk rasa ingin tahu siswa sebagai modal sikap ilmiah seseorang calon ilmuan.
5. Membina rasa percaya diri sebagai akibat keterampilan dan pengetahuan atau penemuan yang diperolehnya.
Lebih jauh dijelaskan dalam Anonim (2003), bahwa fungsi dari laboratorium adalah sebagai berikut :
1. Laboratorium sebagai sumber belajar
Tujuan pembelajaran fisika dengan banyak variasi dapat digali, diungkapkan, dan dikembangkan dari laboratorium. Laboratorium sebagai sumber untuk memecahkan masalah atau melakukan percobaan. Berbagai masalah yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran terdiri dari 3 ranah yakni: ranah pengetahuan, ranah sikap, dan ranah keterampilan/afektif.
2. Laboratorium sebagai metode pembelajaran
Di dalam laboratorium terdapat dua metode dalam pembelajaran yakni metode percobaan dan metode pengamatan
3. Laboratorium sebagai prasarana pendidikan
Laboratorium sebagai prasarana pendidikan atau wadah proses pembelajaran. Laboratorium terdiri dari ruang yang dilengkapi dengan berbagai perlengkapan dengan bermacam-macam kondisi yang dapat dikendalikan, khususnya peralatan untuk melakukan percobaan.
2.3. Peranan Laboratorium Sekolah
Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) guru fisika sangat dituntut dalam kreatifitas membuat alat-alat sederhana yang mampu menjelaskan teori dan konsep fisika, sesuai dengan peralatan yang ada dan kondisi daerahnya agar tervisualisasi sehingga mudah dipahami dan dimengerti siswanya. Untuk itu peranan laboratorium fisika menjadi sangat penting, karena laboratorium merupakan pusat proses belajar mengajar untuk mengadakan percobaan, penyelidikan atau penelitian (Ar1, 2007).
Adapun peranan laboratorium sekolah antara lain :
1. Laboratorium sekolah sebagai tempat timbulnya berbagai masalah sekaligus sebagai tempat untuk memecahkan masalah tersebut.
2. Laboratorium sekolah sebagai tempat untuk melatih keterampilan serta kebiasaan menemukan suatu masalah dan sikap teliti.
3. Laboratorium sekolah sebagai tempat yang dapat mendorong semangat peserta didik untuk memperdalam pengertian dari suatu fakta yang diselidiki atau diamatinya.
4. Laboratorium sekolah berfungsi pula sebagai tempat untuk melatih peserta didik bersikap cermat, bersikap sabar dan jujur, serta berpikir kritis dan cekatan.
5. Laboratorium sebagai tempat bagi para peserta didik untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya (Emha, 2002).
Laboratorium (disingkat lab) adalah tempat riset ilmiah, eksperimen, pengukuran ataupun pelatihan ilmiah dilakukan. Laboratorium biasanya dibuat untuk memungkinkan dilakukannya kegiatan-kegiatan tersebut secara terkendali (Anonim, 2007). Sementara menurut Emha (2002), laboratorium diartikan sebagai suatu tempat untuk mengadakan percobaan, penyelidikan, dan sebagainya yang berhubungan dengan ilmu fisika, kimia, dan biologi atau bidang ilmu lain.
Pengertian lain menurut Sukarso (2005), laboratorium ialah suatu tempat dimana dilakukan kegiatan kerja untuk mernghasilkan sesuatu. Tempat ini dapat merupakan suatu ruangan tertutup, kamar, atau ruangan terbuka, misalnya kebun dan lain-lain.
Berdasarkan definisi tersebut, laboratorium adalah suatu tempat yang digunakan untuk melakukan percobaan maupun pelatihan yang berhubungan dengan ilmu fisika, biologi, dan kimia atau bidang ilmu lain, yang merupakan suatu ruangan tertutup, kamar atau ruangan terbuka seperti kebun dan lain-lain.
2.2. Fungsi Laboratorium
Menurut Sukarso (2005), secara garis besar laboratorium dalam proses pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Sebagai tempat untuk berlatih mengembangkan keterampilan intelektual melalui kegiatan pengamatan, pencatatan dan pengkaji gejala-gejala alam.
2. Mengembangkan keterampilan motorik siswa. Siswa akan bertambah keterampilannya dalam mempergunakan alat-alat media yang tersedia untuk mencari dan menemukan kebenaran.
3. Memberikan dan memupuk keberanian untuk mencari hakekat kebenaran ilmiah dari sesuatu objek dalam lingkungn alam dan sosial.
2.1.
4. Memupuk rasa ingin tahu siswa sebagai modal sikap ilmiah seseorang calon ilmuan.
5. Membina rasa percaya diri sebagai akibat keterampilan dan pengetahuan atau penemuan yang diperolehnya.
Lebih jauh dijelaskan dalam Anonim (2003), bahwa fungsi dari laboratorium adalah sebagai berikut :
1. Laboratorium sebagai sumber belajar
Tujuan pembelajaran fisika dengan banyak variasi dapat digali, diungkapkan, dan dikembangkan dari laboratorium. Laboratorium sebagai sumber untuk memecahkan masalah atau melakukan percobaan. Berbagai masalah yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran terdiri dari 3 ranah yakni: ranah pengetahuan, ranah sikap, dan ranah keterampilan/afektif.
2. Laboratorium sebagai metode pembelajaran
Di dalam laboratorium terdapat dua metode dalam pembelajaran yakni metode percobaan dan metode pengamatan

3. Laboratorium sebagai prasarana pendidikan
Laboratorium sebagai prasarana pendidikan atau wadah proses pembelajaran. Laboratorium terdiri dari ruang yang dilengkapi dengan berbagai perlengkapan dengan bermacam-macam kondisi yang dapat dikendalikan, khususnya peralatan untuk melakukan percobaan.
2.3. Peranan Laboratorium Sekolah
Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) guru fisika sangat dituntut dalam kreatifitas membuat alat-alat sederhana yang mampu menjelaskan teori dan konsep fisika, sesuai dengan peralatan yang ada dan kondisi daerahnya agar tervisualisasi sehingga mudah dipahami dan dimengerti siswanya. Untuk itu peranan laboratorium fisika menjadi sangat penting, karena laboratorium merupakan pusat proses belajar mengajar untuk mengadakan percobaan, penyelidikan atau penelitian (Ar1, 2007).
Adapun peranan laboratorium sekolah antara lain :
1. Laboratorium sekolah sebagai tempat timbulnya berbagai masalah sekaligus sebagai tempat untuk memecahkan masalah tersebut.
2. Laboratorium sekolah sebagai tempat untuk melatih keterampilan serta kebiasaan menemukan suatu masalah dan sikap teliti.
3. Laboratorium sekolah sebagai tempat yang dapat mendorong semangat peserta didik untuk memperdalam pengertian dari suatu fakta yang diselidiki atau diamatinya.
4. Laboratorium sekolah berfungsi pula sebagai tempat untuk melatih peserta didik bersikap cermat, bersikap sabar dan jujur, serta berpikir kritis dan cekatan.
5. Laboratorium sebagai tempat bagi para peserta didik untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya (Emha, 2002).

sumber: http://laboratoriumabout.blogspot.co.id/2015/05/pengertianfungsidan-peranan-laboratorium.html

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008

SALINAN




PERATURAN

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 26 TAHUN 2008

TENTANG

STANDAR TENAGA LABORATORIUM SEKOLAH/MADRASAH


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang
:  bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 35 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional  tentang  Standar  Tenaga  Laboratorium  Sekolah/

Madrasah;
Mengingat
:  1. Peraturan  Pemerintah  Nomor  19  Tahun  2005  tentang

Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik

Indonesia  Tahun  2005  Nomor  41,  Tambahan  Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4496);

2.  Peraturan   Presiden   Nomor   9   Tahun   2005   tentang

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;

3.  Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun

2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31/P Tahun 2007;



MEMUTUSKAN: